Faktor Yang Mempengaruhi Pola Pikir Imam Mazhab

Faktor yang mempengaruhi pola pikir imam mazhab

Menurut bahasa mazhab berasal dari shighah masdar mimi dan isim makan yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” yang artinya pergi. Sedangkan menurut istilah mazhab adalah metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtihid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-qur’an dan hadits. Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum islam.

Para imam dalam memecahkan suatu masalah, bukan hanya sebatas dalil saja, melainkan melihat juga bagaimana konteks dari dalil tersebut, bagaimana kondisi lingkungan ketika diteripkan suatu hukum berdasarkan teks sebuah ayat al-quran.

Misalnya saja Imam Abu Hanifah, beliau terkenal sebagai ahlu ra'yu, karena pandai dalam menggunakan logika. Walaupun dikatan ahlu ra'yu, namun beliau tidak pernah meninggal al-quran dan sunnah. Hanya saja ketika menghukumi suatu permasalahan, beliau meninjau konteks dari ayat dan melihat kondisi sekitarnya dengan hukum yang pas dari suatu ayat.

Ayat di dalam al-quran begitu banyak, begitupun sebuah masalah akan selalu terus berkembang. Bisa saja, satu ayat dapat menghukumi beberapa masalah, bisa juga satu masalah dihukumi oleh beberapa ayat. Jadi, pokok pikiran masing-masing imam pasti memiliki perbedaan.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka pembahasan kali ini adalah seputar pola pikir imam mazhab dan faktor yang mempengaruhinya.

Pola pikir dan faktor yang mempengaruhi Imam Abu Hanifah. Secara geografis, Beliau hidup dan wafat pada (80-150 H) lahir di Kufah  (Irak) yang penduduknya merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Untuk mengatasinya, mereka “terpaksa” memakai ijtihad dan akal. Menghadapi persoalan kemasyarakatan di Irak daerah yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari pusat informasi Hadits Nabi Saw “terpaksa” atau “selalu” menggunakan akal rasionya.

Faktor lain yang memengaruhi Imam Abu Hanifah adalah kajian awalnya pada ilmu kalam (teologi), juga sebagai pedagang kain sehingga ia memiliki pengalaman luas tentang perdagangan. Studi awal terhadap ilmu kalam, tentu saja, membuat Imam Abu Hanifah mahir dalam menggunakan logika untuk mengatasi berbagai masalah fiqih.

Pola pikir dan faktor yang memengaruhi Imam Malik. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik (93-179 H) lahir di Madinah yang dikenal sebagai “daerah hadits” dan tempat tinggal para sahabat Nabi Saw. Fuqoha disini lebih mengerti hadits dibanding dengan fuqoha lainnya, misalnya Irak. Di sini jelas, para fuqoha tidak perlu lagi ijtihad dan rasio karena Madinah sebagai “tempat asal dan dekat Mekah”. Atas hal ini, wajarlah kalau Imam Malik lebih cenderung menguasai hadits dan kurang menggunakan rasio dibanding Imam Abu Hanifah karena faktor sosial dan budaya masyarakat. 

Pola pikir dan faktor yang memengaruhi Imam Syafi’i. Pertama, faktor pluralisme pemikiran. Situasi dan kondisi saat Imam Syafi’i (150-204 H) lahir dan hidup sangat jauh (karya ulama sudah banyak) berbeda dengan imam sebelumnya. Pada masa Imam Syafi’i hidup, sudah banyak ahli fiqih, baik sebagai murid Imam Abu Hanifah atau Imam Malik sendiri masih hidup. Akumulasi berbagai pemikiran fiqih fuqoha, baik dari Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir menjadikan Imam Syafi’i memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran pemikiran fiqih.

Faktor kedua, geografis, faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat Imam Syafi’i lahir. Mesir adalah daerah kaya dengan warisan budaya Yunani, Persi, Romawi dan Arab, kondisi budaya yang kosmopolit ini tentu saja memberikan pengaruh besar terhadap pola pikir Imam Syafi’i. Hal itu terlihat dari kitabya Ilmu Mantiq yang dipengaruhi oleh aliran Aristoteles. Faktor ketiga, adalah faktor sosial dan budayaikut memengauhi terhadap pola pikir Imam Syafi’i dengan qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim dibangun di Irak tahun 195 H. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Syafi’i mengubah pendapatnya yang kemudian disebut Qaul jadid.

Faktor yang memengaruhi Imam Ahmad Bin Hambal. Pada masa ini aliran Syi’ah, Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah dan Murji’ah semua aliran ini telah banyak keluar atau menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Misalnya, Mu’tazilah berpedapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, suatu pendapat yang melanggar konsensus ulama pada saat itu.

Faktor inilah yang menyebabkan Imam Ahmad Bin Hambal mengajak kepada masyarakat dan berpegang teguh kepada hadits dan sunnah. Sikap ini berbeda dengan Imam Syafi’i yang melawan ijtihad rasional pada saat itu dengan memadukan hadits dan rasio. Sebaliknya Imam Ahmad Bin Hambal justru berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan kembali berpegang teguh kepada hadits dan sunnah.

Faktor politik dan budaya. Imam Ahmad Bin Hambal hidup pada periode pertengahan kekhalifahan Abbasiyah, ketika unsur Persia mendominasi unsur Arab. Pada periode ini sering kali timbul pergolakan, konflik, dan pertentangan yang berkisar pada soal kedudukan putra mahkota dan khilafat antara anak-anak dan sudara-sudaranya. Saat itu, aliran Mu’tazilah berkembang, bahkan menjadi mazhab resmi negara pada pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tashim, dan Al-Wasiq. 

Pola pikir dan faktor memengaruhi Mazhab Syi’ah dan Khawarij. Faktor utama yang memengaruhi kedua mazhab ini adalah faktor politik. Karena kemunculan dua aliran ini pun tidak lepas dari nuansa politis yakni, tahkim. Di samping faktor teologis. Kedua faktor inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap pola pikir kedua mazhab tersebut. Dalam perjalanannya, Khawarij berubah menjadi aliran kalam dan fiqih. Mazhab fiqih Khawarij diwakili oleh Mazhab Ibadi.

Adapun Syi’ah memperkuat eksistensinya dalam aliran politik dengan membangun berbagai doktrin dan ajarannya, termasuk aspek fiqih yang diwakili oleh Mazhab Ja’fari(Imami), Zaidiyah dan Ismaili. Faktor polik amat kental dalam Mazhab Syi’ah, terutama Imamiyah (Ja’fari) yang diakui sebagai mazhab resmi negara sampai sekarang. Pola pikir Mazhab Ja’fari bersifat otoritas Imam dalam proses penetapan hukum pun, mazhab ini memiliki beberapa otoritas atau yang disebut wilayah.

Pola pikir Mazhab Zaidiyah pada dasarnya cenderung pada Mu’tazilah (Karena Imam Zaid pernah berguru kepada Washil bin Atha’, di satu sisi, sementara pada aspek lain dari sekian banyak Mazhab Syi’ah, Zaidiyah merpakan mazhab yang paling dekat dengan ahlu as-Sunnah.

Pola pikir Mu’tazili ini tertular pula kepada murid-muridnya, seperti Abil Fadhl Ibn Al-Amid, Ash-Shahib bin ‘Ibad dan sebagian Amir Bani Buwaihi. Muridnya yang memberikan pengaruh Zaidiyah, terutama khalid ‘Amir ibn Khalid Al-Wasithiy (w. 150 H) dengan kitabnya Al-Majmu.

Pola pikir ini berbeda dengan Mazhab Ismaili, yang lebih cenderung ekstrem dibanding dua Mazhab Syi’ah lainnya. Hal itu dimaklumi, karena dalam Mazhab Ismaili, tidak ada panutan tokoh atau ahi dalam bidang fiqih.

Mereka lebih pada aliran politik praktis. Hal ini terlihat ketika Ismail tidak diangkat menjadi Imam Ketujuh(sementara  Abu Ja’far sebagai Imam keenam menunjuk anaknya yang lain, Musa Al-Khadim sebagai Imam Ketujuh), mereka menghalalkan segala cara untuk merebut hati orang-orang muslim. Uraikan tentang Ismaili di atas, dapat dikatakan bahwa pola pikir Mazhab ini cenderung “radikal” dan “liberal”.Karakteristik pemikiran Ibadi adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan landasan utama Mazhab Ibadi, dalam melakukan ijtihad (tidak menggunakan ijam dan qiyas).

Nuansa politik tampak ketika mereka tidak mengutuk Ali, namun mengingkari penerimaan Ali untuk melaksanakan tahkim. Dan mereka mengakui Abu Bakar dan Umar (tidak Utsman) sebagai contoh baik setelah Nabi Saw. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pola pikir Mazhab Ibadi “cenderung sama” dengan mazhab-mazhab Ahl as-Sunnah.

0 Response to "Faktor Yang Mempengaruhi Pola Pikir Imam Mazhab"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel