Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Imam Madzhab

Sebelum membaca artikel ini, lebih baik sudah memahami terlebih dahulu apa itu ikhtilaf.
Berikut adalah point-point yang menjadi penyebab perbedaan (ikhtilaf) dikalangan para ulama dikutip dari Muslim Ibrahim dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Fiqh Muqaaran". Pada artikel sebelumnya telah dipaparkan mengenai 4 sebab adanya perbedaan, antara lain:
  1. Perbedaan dalam memahami ayat Alquran dan redaksi Sunnah Rasulullah, 
  2. Sebab-sebab khusus tentang Sunnah Rasulullah, 
  3. Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyah, 
  4. Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.  
Yang akan dijelaskan lebih jelas lagi melalui point-point dibawah ini.

Penyebab Ikhtilaf
Penyebab Terjadinya Perbedaan

1. Perbedaan dalam memahami teks Alquran dan redaksi Sunnah Rasulullah

Sebagaimana kita maklumi bahwa sumber utama syariat Islam adalah Alquran dan Sunnah Rasul. Keduanya berbahasa Arab. Di antara kata-katanya ada yang memiliki arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu, dalam ungkapannya terdapat kata  umum tetapi yang dimaksudkan khusus. Ada pula perbedaan perspektif dari aspek lughawi (kebahasaan) dan ‘urfi (tradisi) serta dari segi manthuq, mafhum dan lainnya.

Berikut ini akan dikemukakan contoh mengenai kata musytarak dalam nas Alquran yang meimbulkan ikhtilaf:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ . 
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'."

Sebagian ulama menafsiri kata quru’ dengan suci, sedangkan yang lain menafsiri haid. Dengan demikian, ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa wanita yang ditalak harus beridah dengan tiga kali suci, sedangkan kalangan ulama Hanafiyah dengan tiga kali haid.

Selanjutnya akan dikemukakan contoh pemahaman terhadap Sunnah terkait dengan isinya yang umum dan khusus.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang nisab zakat pertanian. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa setiap jenis hasil pertanian yang sedikit atau banyak wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan pada keumuman suatu hadis:

فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ أَوْ كَانَ عثريا اَلْعُشُرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشُرِ.
Sesuatu (hasil pertanian) yang pengairannya dengan air hujan, air sumber atau menyerap air hujan, zakatnya sepersepuluh, sedangkan yang diairi dengan jasa unta zakatnya setengah dari sepersepuluh.

Sedangkan pendapat jumhur fukaha berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bahwa hasil pertanian yang tidak mencapai satu nisab tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Satu nisab adalah lima awsaq (± 300 gantang). Mereka berhujah bahwa hadis tersebut dikhususkandengan hadis Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi SAW bersabda:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ .
Sesuatu yang kurang dari lima awsaq tidak wajib zakat.

Golongan Hanafi menakwili bahwa hadis ini tertuju pada zakat harta perdagangan, bukan pertanian.

2. Sebab-sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasul


1) Perbedaan dalam Penerimaan Hadis


Para sahabat yang menerima dan menyampaikan hadis, kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majis Rasul, tentunya mereka inilah yang banyak menerima hadis sekaligus meriwayatkannya. Tetapi bayak pula di antara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan pribadinya, sehingga jarang menghadiri majlis Rasul, padahal dalam majlis itulah Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu. Contoh mengenai ini sebagai berikut:

بَلَغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ
Aisyah mendengar bahwa Abdullah ibn Umar memberi fatwa bahwa wanita yang mandi janabah hendaknya membuka (mengudar) sanggulnya.

Setelah mendengar fatwa ini Aisyah r.a merasa heran dan berkata:

فَقَالَتْ يَا عَجَبًا لاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلاَ أَزِيدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِى ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ
Aisyah berkata, “Sungguh aneh Ibn Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambutnya saja? Sesungguhnya aku pernah mandi bersama Rasulullah SAW dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.

Contoh kasus pada kalangan ulama mujtahid, yaitu tentang Abu Hanifah dan kawan-kawannya dalam memutuskan suatu hukum. Ada suatu cerita dari Abdul Warits ibn Sa’id: Pada suatu waktu saya berada di Makkah bertemu dengan Abu Hanifah, Ibn Abi Laila dan Ibn Syabramah. Saya berkata kepada Abu Hanifah: “Bagaimana pendapatmu tentang orang menjual sesuatu dengan syarat tertentu?’’Abu Hanifah menjawab: “Jual belinya batal dan syaratnya juga batal.” Kemudian saya bertanya kepada Ibn Abi Laila lalu ia menjawab: “Jual belinya sah dan syaratnya batal.’’ Kemudian saya bertanya kepada Ibn Syabramah lalu ia menjawab: “Jual belinya sah dan syaratnya juga sah.’’ Lalu saya berucap: “Subhanallah! Tiga fukaha Irak berbeda pendapat begitu tentang satu masalah.’’

Saya kembali kepada mereka, menanyakan alasan mereka masing-masing. Abu Hanifah berkata: “Aku tidak tahu apa alasan mereka berdua, yang jelas saya menerima hadis dari Amr ibn Syu’ab dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi SAW melarang jual beli bersyarat; jual belinya batal syaratnya juga batal.

Saya kembali kepada Ibn Abi Laila menginfokan tentang itu, dia berkata: “Aku tidak tahu alasan mereka berdua, namun yang jelas aku menerima hadis dari Hisyam ibn Urwah dari bapaknya dari Aisyah ia berkata, ‘Aku pernah disuruh Rasulullah membeli budak dan ada syarat dari keluarganya supaya nanti dimerdekakan, maka Nabi SAW membatalkan syarat itu dan meneruskan jual itu.’ Jadi jual beli itu sah dan syaratnya batal.”

Kemudian saya mendatangi Ibn Syabramah mengabarkan tentang hal itu, ia berkata: “Aku tidak tahu alasan mereka berdua, aku pernah mendengar tentang hadis  Jabir bahwa ia pernah menjual unta kepada Nabi SAW lalu beliau mensyaratkan agar unta itu dibawakannya ke Madinah. Berarti jual beli itu sah dan syarat juga sah.”

2) Perbedaan dalam Menilai Periwayatan Hadis


Perbedaan pendapat di kalangan fukaha terkait dengan hadis dari berbagai segi. Perbedaan itu terjadi setidak-tidaknya ada tiga sebab. Pertama, perbedaan mereka tentang keterbatasannya dalam memiliki kuantitas koleksi hadis secara penuh, sebagaimana contoh di atas. Sebagaimana kita maklum bahwa tidak semua tokoh-tokoh sahabat Nabi selalu mengetahui terhadap semua apa yang disabdakan Nabi pada suatu waktu. Kedua, perbedaan mereka dalam memberi penilaian terhadap kualitas suatu hadis. Ketiga, perbedaan mereka dalam menerima-tidaknya terhadap kualitas hadis daif.

3) Perbedaan tentang Kedudukan Rasulullah SAW


Rasulullah SAW di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya. Misalnya mengenai hadis berikut:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِىَ لَهُ . 
"Barangsiapa menggarap tanah tak bertuan, maka dialah pemiliknya."

Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap kepemilikan tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada negara di mana orang itu hidup. Sebaliknya, jumhur fukaha memandang hadis yang dinyatakan Rasul itu dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.

3. Sebab-sebab Berkenaan dengan Kaidah Ushuliyah


Kaidah ushuliyah merupakan metodologi hukum Islam yang digunakan oleh ulama untuk menggali suatu hukum pada abad kedua hijriyah. Keberadaannya efektif untuk menghasilkan suatu produk hukum. Metodologi ini digagas oleh Imam Syafii, bermula dari sebuah inspirasi setelah beliau menelaah keilmuan yang diwarisi oleh para sahabat Nabi, tabiin dan ulama fikih sebelumnya, terutama ketika adanya persinggungan yang dinamis antara model fikih Madinah yang diperoleh dari Imam Malik dengan fikih Irak yang diperoleh dari Imam Ibn Al-Hasan, demikian juga fikih Makkah yang beliau pernah hidup dan bermukim di situ. Hal itulah yang melatarbelakangi Imam Syafii mengadakan standarisasi untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Standarisasi itulah yang disebut ushul fiqh (usul fikih).

Sejarawan, seperti Ibn Khaldun mencatatat bahwa orang pertama kali yang mengkodifikasi ilmu usul fikih  adalah Imam Syafii.  Sebelum Imam Syafii tidak didapati secara jelas di kalangan ulama mujtahid adanya model penggunaan usul fikih  dalam ijtihad mereka, artinya mereka tidak mempublikasikan model usul fikih yang mereka gunakan dalam berijtihad. Imam Syafiilah satu-satunya orang yang memulainya dan memiliki pengaruh setelah itu sehingga banyak bermunculan kitab-kitab usul fikih di tataran mazhab-mazhab yang ada dengan sistematika penulisannya menurut perkembangan zaman. Banyak dari kalangan peneliti berpendapat bahwa usul fikih kalangan Hanafi berpijak pada apa yang digagas Imam Syafii.

Berikut akan dikemukakan contoh ikhtilaf di kalangan ulama dalam memahami suatu teks berdasarkan metode mereka masing-masing:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ  هُمُ الْفَاسِقُونَ .
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik."

إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ .
"Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian itu hanya tertuju kepada yang terakhir disebut, walau dia bertaubat dan berbuat baik, kesaksiannya tetap tidak dapat diterima. Sanksi pencambukan yang disebut di sini, ada yang memahaminya antara lain Abu Hanifah sebagai hak Allah. Sehingga yang dicemarkan nama baiknya tidak berhak memaafkan dan yang bersangkutan tetap harus dicambuk. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafii menilainya hak yang dicemarkan namanya, sehingga bila ia memaafkan maka gugurlah pencambukan itu.

4. Perbedaan Penggunaan Dalil di Luar Alquran dan Sunnah


Perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih juga disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar Alquran dan Sunnah, seperti amal ahli madinah, dijadikan dasar fikih oleh Imam Malik, tidak dijadikan dasar oleh Imam yang lain. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijmak, kias, istislah,istihsan, sad adz-dzari’ah, tradisi dan sebagainya, yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar, sedangkan sebagian ulama yang lain tidak menjadikannya dasar dalam menggali hukum.

# Hikmah Adanya Ikhtilaf dan Implementasinya dalah Kehidupan Masyarakat


Khilafiah dalam hukum Islam merupakan khazanah. Bagi orang yang memahami watak-watak kitab fikih yang memuat masalah-masalah yang diperselisihkan hukumnya, sering menganggap bahwa fikih itu sebagai pendapat pribadi yang ditransfer ke dalam agama. Padahal jika mereka mau mengkaji secara mendalam, pasti mereka menemukan bahwa ketentuan hukum Islam itu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ikhtilaf merupakan suatu hal yang lumrah dalam dunia fikih, sehingga benar apa yang dikatakan Qatadah: “Barangsiapa tidak mengetahui ikhtilaf maka hudungnya belum pernah mencium bau fikih’’, Hisyam Ar-Razi juga mengatakan: “Barangsiapa tidak mengetahui perselisihan fukaha, maka ia bukan ahli fikih.’’

Fikih sebagai hasil ijtihad ulama dan tidak lepas dari sumbernya, yaitu Alquran dan Sunnah, otomatis akan mengandung keragaman hasil ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati diri ulama mazhab adanya sikap sportif dan toleran apabila dihadapkan pada fenomina tersebut, serta tetap konsisten kepada prinsip firman Allah bahwa apabila terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

# Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya Ikhtilaf


Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para imam mazhab sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka  dalam penetapan hukum suatu masalah. Dengan demikian, akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam kajian tentang hal yang diperselisihkan, meneliti sistem dan cara yang baik dalam menggali suatu hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan dalam hukum fikih bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.

0 Response to "Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Imam Madzhab"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel