Pengertian Fiqih Mawaris dan Sumber hukumnya

Fiqh mawaris merupakan hukum waris yang wajib di pelajari dan di terapkan dalam setiap peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama islam.
Dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya.

Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Adanya kematian seseorang menyebabkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan Fiqih Mawaris atau Hukum Waris.
Sumber Hukum Fiqh Mawaris
Sumber Hukum Ilmu Mawaris
Dalam fiqih mawaris/hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing, bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan, serta hukum membagi harta waris menurut syariat Islam.

Sumber Hukum Fiqih Mawaris

Terdapat empat (4) macam sumber hukum fiqih mawaris menurut blog Hukum Syariat yang dikutip dari Ahmad Rofiq dalam bukunya yang berjudul "Fiqh Mawaris". Jika ternyata terjadi perbedaan sumber hukum fiqih mawaris di blog ini dengan blog lain, maka pilihlah yang menurut kalian tepat.

1. Al-quran

Sumber hukum ilmu waris terdapat di dalam al-quran surat ke-4 yaitu an-Nisa ayat ke-11, ke-12 dan ayat ke-176.

2. Al-Sunnah, di antaranya: 

a. Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim atau sering disebut dengan istilah Muttafaq’alaih:

قال النبي صلىالله عليه وسلم الحقوا الفرائض باهلها فما بقي فلاولى رجل ذكر
“Nabi Saw, bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

b. Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim juga:

لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم
“Orang Muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang Muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

c. Riwayat dari Sa’ad ibn Abi Waqqash oleh al-Bukhari dan Muslim tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat:

“Rasulullah Saw, datang menjengukku pada tahun haji wada’ di waktu aku menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah Saw, aku sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang yang mempunyai kekayaan, sementara tidak ada orang yang akan mewarisi  hartaku selain seorang anak perempuan. Apakah aku sedekah (wasiat)kan dua sepertiga hartaku? “Jangan”, jawab beliau. Aku bertanya: “Sepertiga?” Beliau menjawab: “Sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli waismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
*Baca juga: Siapa saja anggota keluarga yang mendapat warisan?

3. Al-Ijma’ 

Pengertian ijma' adalah kesepakatan kaum Muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam masyrakat. Karena ketentuan tersebut telah diterima secara sepakat, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Para ulama mendefinisikan ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid tentang suatu ketentuan hukum syara’ mengenai suatu hal pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw.

4. Al-Ijtihad

Pengertian ijtihad adalaj pemikiran sahabat atau Ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid , untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul, termasuk di dalamnya tentang persoalan pembagian warisan. Yang dimaksud di sini adalah ijtihad dalam menerapkan hukum (tathbiq ak-ahkam), bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada. Misalnya, bagaimana apabila dalam pembagian warisan terjadi kekurangan harta, maka diselesaikan dengan menggunakan cara dinaikkan angka asal masalahnya. Cara ini disebut dengan masalah ‘aul. Atau sebaliknya jika terjadi kelebihan harta , maka ditempuh dengan cara mengurangi angka asal masalah, yang disebut dengan cara radd. Jika dalam cara ‘aul akan terjadi pengurangan bagian secara proporsional dari yang seharusnya diterima ahli waris, maka dalam cara radd, akan terjadi kelebihan dari bagian yang seharusnya diterima.

0 Response to "Pengertian Fiqih Mawaris dan Sumber hukumnya "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel