Biografi Imam Abu Hanifah - Pendiri Madzhab Hanafi

Imam Abu Hanifah - Pendiri Madzhab Hanafi
Biografi Imam Abu Hanifah - Pendiri Madzhab Hanafi

Dimana ada mayoritas muslim di situ juga pasti ada mayoritas dari suatu mazhab. Adanya keharusan untuk memilih mazhab atau bermazhab disebabkan karena dalam melakukan suatu ibadah harus memiliki imam atau acuan dalam setiap tindakannya, dengan bermazhab kita tidak akan kebingungan untuk mencari hukum yang pas untuk suatu permasalahan.

Pengertian madzhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo,  madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah atau meng-istinbath –kan hukum islam.  Adanya madzhab-madzhab pasti menimbulkan perbedaan-perbedaan hukum atas suatu masalah yang disebabkan karena dalil yang digunakan berbeda, menggunakan kaidah ushuliyah yang berbeda dan menggunakan kaidah fiqhiyah yang berbeda juga. Untuk itu, dalam pembahasan kali ini, penulis akan membahas tentang Imam Abu Hanifah sebagai salah satu imam mazhab yang dikenal dengan istihsannya.

Biografi Imam Abu Hanifah

Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (Arab: النعمان بن ثابت‎), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (Arab: بو حنيفة‎) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Yurisprudensi Islam Hanafi. Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.

Imam Abu Hanifah disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Imam Bukhari.

Ia hidup pada dua masa, yaitu masa kekhalifahan Umayyah selama 52 tahun dan masa kekhalifahan Abasiyah selama 18 tahun. Digelari Abu Hanifah yang memiliki arti suci atau lurus, karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. Mazhab fiqhnya dinamakan mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a., di mana suatu saat ayahnya yang bernama Tsabit diajak oleh kakeknya yang bernama Zauti untuk berziarah ke kediaman Ali r,a., yang saat itu sedang menetap di Kufah, akibat pertiakain politik yang mengguncang umat Islam pada saat itu Ali r.a., mendoakan agar keturuan Tsabit kelak akan menjadi orang-orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam Abu Hanifah.

Imam Abu Hanifah tumbuh kembang dalam rumah yang terbiasa dengan bisnis pakaian di Kufah. Keluarganya juga memiliki pemahaman yang baik terhadap agama sejak ayahnya Tsabit bertemu dengan Ali bin Abi Thalib dan mendoakan keberkahan kepada keluarganya. Pada mulanya Imam Abu Hanifah giat menghafal Alquran, dan setelah hafal, beliau menghafal sunah untuk memperbaiki agamanya.

Ketika beliau sudah mulai mengenal cara mengatur hidup dengan mulai berdagang, mencari nafkah untuk keluarganya sehingga tidak punya banyak kesempatan menemui para ulama kecuali ketika libur. Beliau biasa berdiskusi dengan orang lain, berkawan dengan para petani lebah yang berhasil memberinya kemampuan orasi yang baik dan fitrah yang suci. Imam Abu Hanifah sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, terutama empat jenis ilmu fiqh; fiqh Umar bin Khaththab yang berlandaskan kepada konsep maslahat, instinbat, dan memperdalam pemahaman hakikat syariat, dan ilmu Ibnu Abbas yang berisi Alquran berikut fiqhnya. Ditambah ilmu dan fiqh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud.

Perhatian Abu Hanifah yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan, menyebabkan dirinya menjadi seorang imam yang besar dan terkenal, dan ketenarannya itu didengar oleh Yazid ibn Umar ibn Hubairah, seorang Gubernur Irak, sehingga Yazid meminta Abu Hanifah untuk menjadi qadhi. Akan tetapi, Abu Hanifah menolak. Karena menolak tawaran tersebut, Abu Hanifah ditangkap, dipenjarakan, dan dicambuk. Atas pertolongan  juru cambuk, Abu Hanifah berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal di sana selama 6 tahun (130-136 H).

Setelah Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah. Sikap politik Abu Hanifah berpihak kepada keluarga Ali (ahlul bait) yang selalu dianiaya dan ditindas, baik oleh Dinasti Umayah atau Bani Abbas.

Penguasaan terhadap berbagai ilmu seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, hadis, bahasa Arab dan ilmu hikmah, telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh dan keahliannya itu diakui oleh para ulama pada zamannya, seperti Imam Hammad bin Abi Sulaiman yang memercayakan Abu Hanifah untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid-muridnya. Keahlian tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i bahwa “Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh”.

Karena keperduliannya terhadap hukum Islam, Imam Abu Hanifah kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya bekecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum Islam, serta menetapkan hukum-hukumnya daam bentuk tulisan sebagai perundang-undangan dan ia sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83.000.00, 38.000.000 diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45.000.000 lainnya mengenai urusan dunia.

Predikat Al-Imam Al-‘Azham (imam yang terbesar) diberikan oleh murid dan para pengikutnya kepada Abu Hanifah, meskipun ia sendiri bersikukuh menolaknya. Akibat menolak hadiah, wanita dan jabatan ia dipenjara. Kesehatan yang semakin menurun akibat siksaan di penjara, Abu Hanifah meninggal dunia tahun 150 H.

Perkembangan Pendidikan Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah berguru kepada seorang ulama terkemuka pada zamannya, yaitu Hammad bin Sulaiman, beliau memberikan pengaruh dalam membangun mazhab fiqhnya.  Hammad bin Sulaiman belajar fiqh dari Ibrahin An-Nakha’i, sedangkan Imam An-Nakha’i belajar dari Alqamah An-Nakha’i yang pernah belajar dengan Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat terkemuka yang dikenal memiliki ilmu fiqh dan logika yang mumpuni. Imam Abu Hanifah juga belajar dari tabi’in seperti ‘Atha’ bin Abi Rabah dan Nafi’ pembantunya Ibnu Umar.

Selain itu, beliau juga belajar fiqh dari Hammad bin Sulaiman. Beliau juga meriwayatkan dari beberapa orang seperti Zaid bin ali bin Zainal Abidin, Ja’far Ash-Shadiq dan Abudullah bin Hasan. Disamping itu, beliau juga belajar fiqh selama dalam perjalanan haji dengan beberapa ulama, terutama fuqaha’ Mekah termasuk ketika beliau mukim di sana selama enam tahun setelah beliau hijrah ke Mekah pada tahun 130 H.

Kabar buruk terhembus dari Basrah untuk Syaikh Hammad, seorang keluarga dekatnya telah wafat, Ketika ia memutuskan untuk pergi ke Basrah ia meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatawa dan pengarah dialog.Saat Abu Hanifah mengantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani oleh pertanyaan yang sangat banyak, sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya, maka sebagian ia jawab dan sebagian yang lain ia tangguhkan hingga menunggu kedatangan gurunya.

Ketika Syaikh Hammad datang dari Basrah ia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang tidak kurang dari 60 pertanyaan, 40 diantaranya sama dengan jawaban Abu Hanifah, dan berbeda pendapat dalam 20 jawaban. Dari peristiwa ini ia merasa bahawa masih banyak kekurangan yang ia rasakan, maka ia memutuskan untuk menunggu sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta mempelajari yang belum ia ketahui. Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad telah wafat, maka ia segera menggantikan gurunya.

Gaya pengajarannya adalah dengan cara dialog dan tidak hanya bersifat penyampaian, namun terkadang beliau memberikan beberapa pertanyaan seputar fiqh kepada murid-muridnya, kemudian beliau menyebutkan beberapa dasar untuk menjawab masalah tersebut, lalu mereka berdialog. Masing-masing menyampaikan pendapatnya, terkadang mereka setuju, terkadang tidak. Apabila telah sepakat maka Imam akan mendikte atau ada murid yang menuliskan untuk sang Imam. Saat terjadi perbedaan pendapat dan tidak menemukan kata sepakat maka akan ditulis semua pendapat yang ada dan dengan cara inilah berdiri mazhab Imam Abu Hanifah atas dasar musyawara, tukar pendapat, dan diskusi. Dari sini kemudia lahirlah murid-murid sang Imam yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan ijtihad.

Imam Abu Hanifah dalam mengajar menggunakan metode analisis, observasi illat, dan menelaah dalil. Beliau beranggapan bahwa metode ini dapat menyampaikan ilmu kepada murid dengan baik, dan berdampak baik pada guru dan murid. Dampak ini memotivasi beliau untuk terus belajar sampai beliau wafat dan hasilnya ilmu Imam Abu Hanifah terus bertambah dan berkembang.

Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid, ada yang pulang setelah belajar dan ada yang menetap bersama beliau. Di antara murid yang nyantri adalah

  1. Abu Yusuf, 
  2. Muhammad bin al-Hasan Asy-Syaibani, 
  3. Zufar bin Al-Huzail, dan 
  4. Al-Hasan bin Zaid Al-Lu’lu’i.  

Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah pikiran Abu Hanifah adalah Muhammad bin al-Hasan Asy-Syaibani yang terkenal dengan al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu: Kitab al-Mabsuth, Kitab al-Ziyadat, Kitab al-Jami al-Shaghir, Kitab al-Jami al-Kabir, Kitab al-Sair al-Shaghir, dan Kitab al-Sair Al-Kabir.  Abu Yusuf juga menulis beberapa kitab, diantaranya Al-Kharaj, kitab ikhtilaf Abi Hanifah, Ikhtilaf Al-Amshar, Al-Washaya, dan Ar-Radd ‘ala Malik ibn Anas.  Abu Yusuf juga menjadi Qadhy al-Qudhat di zaman Khalifah Harun al-Rasyid. Dalam kitab Al-Kharaj Abu Yusuf membahas tentang hukum yang berhubungan dengan pajak tanah.

0 Response to "Biografi Imam Abu Hanifah - Pendiri Madzhab Hanafi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel